JAMBI - Umat Buddha ternyata juga mengenal istilah puasa dalam ajaran Buddha. Atthasila atau delapan sila merupakan pengembangan dari Pancasila atau lima sila, puasa yang dimaksud adalah tidak boleh makan dari pukul 12.00 siang hingga pagi hari. Itu salah satu bentuk latihan untuk melepaskan diri dari segala nafsu duniawi.
Menurut pengurus Yayasan Buddha Amithaba, Asiang, ada beberapa peraturan yang harus dilakukan oleh umat yang mengikuti ritual Atthasila, antara lain harus mengikuti delapan aturan (Uposatha).
Delapan peraturan tersebut adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan seks, tidak berbohong, tidak mengonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang), tidak makan pada waktu yang salah, tidak bernyanyi, menari, atau menonton hiburan. Selain itu tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum. “Aturan itu harus diikuti saat mengikuti ritual. Juga tidak boleh makan dan minum di atas pukul 12.00 WIB hingga pagi hari,” beber Asiang.
Selain itu, peserta yang mengikuti Atthasila juga tidak boleh menerima tamu, menerima telepon, dan bertemu dengan pihak keluarga. Bahkan di antara peserta tidak boleh saling berbincang satu sama lain. “Jika mereka memerlukan sesuatu, mereka bisa langsung ungkapkan atau menulis di selembar kertas,” ujarnya. Jika di antara peraturan tersebut tidak diikuti dengan baik dan benar, Atthasila yang mereka lakukan tidak sah karena tidak sempurna,” kata Asiang.
Latihan Atthasila yang bukan merupakan keharusan itu sangat baik dijadikan tambahan latihan pengendalian diri oleh para umat Buddha di waktu yang memungkinkan. Biasanya, saat melaksanakan Atthasila, umat membaca Paritta kebaktian terlebih dulu di pagi hari dan membaca Atthasila beserta artinya.
Selanjutnya menurut Asiang, Atthasila menjadi salah satu ritual yang rutin digelar di Yayasan Buddha Amithaba. “Kebetulan yayasan kita selalu menggelar ritual ini setiap tahun dan menjadikan ini sebagai kegiatan rutin yang diikuti cukup banyak umat Buddha yang tidak hanya datang dari Kota Jambi, tetapi juga dari daerah lain,” acara tersebut dipimpin oleh Bhiksu Hai Tau Fa Se dan Chuan Xi dari Taiwan, ujar Asiang.
Selain itu, puncak dari kegiatan Atthasila juga dilengkapi doa kepada para leluhur yang telah meninggal. Secara bersama-sama mereka akan mengirim doa dengan menuliskan nama leluhur pada satu kertas yang akan ditempelkan di dinding. Setelah doa digelar, kertas tersebut akan dibakar bersama-sama. “Ini salah satu kegiatan yang wajib digelar: memberikan doa kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia. Itu juga salah satu tanda bakti kita kepada leluhur yang telah meninggal,” katanya
Menurut pengurus Yayasan Buddha Amithaba, Asiang, ada beberapa peraturan yang harus dilakukan oleh umat yang mengikuti ritual Atthasila, antara lain harus mengikuti delapan aturan (Uposatha).
Delapan peraturan tersebut adalah tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan hubungan seks, tidak berbohong, tidak mengonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan (alkohol, obat-obatan terlarang), tidak makan pada waktu yang salah, tidak bernyanyi, menari, atau menonton hiburan. Selain itu tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum. “Aturan itu harus diikuti saat mengikuti ritual. Juga tidak boleh makan dan minum di atas pukul 12.00 WIB hingga pagi hari,” beber Asiang.
Selain itu, peserta yang mengikuti Atthasila juga tidak boleh menerima tamu, menerima telepon, dan bertemu dengan pihak keluarga. Bahkan di antara peserta tidak boleh saling berbincang satu sama lain. “Jika mereka memerlukan sesuatu, mereka bisa langsung ungkapkan atau menulis di selembar kertas,” ujarnya. Jika di antara peraturan tersebut tidak diikuti dengan baik dan benar, Atthasila yang mereka lakukan tidak sah karena tidak sempurna,” kata Asiang.
Latihan Atthasila yang bukan merupakan keharusan itu sangat baik dijadikan tambahan latihan pengendalian diri oleh para umat Buddha di waktu yang memungkinkan. Biasanya, saat melaksanakan Atthasila, umat membaca Paritta kebaktian terlebih dulu di pagi hari dan membaca Atthasila beserta artinya.
Selanjutnya menurut Asiang, Atthasila menjadi salah satu ritual yang rutin digelar di Yayasan Buddha Amithaba. “Kebetulan yayasan kita selalu menggelar ritual ini setiap tahun dan menjadikan ini sebagai kegiatan rutin yang diikuti cukup banyak umat Buddha yang tidak hanya datang dari Kota Jambi, tetapi juga dari daerah lain,” acara tersebut dipimpin oleh Bhiksu Hai Tau Fa Se dan Chuan Xi dari Taiwan, ujar Asiang.
Selain itu, puncak dari kegiatan Atthasila juga dilengkapi doa kepada para leluhur yang telah meninggal. Secara bersama-sama mereka akan mengirim doa dengan menuliskan nama leluhur pada satu kertas yang akan ditempelkan di dinding. Setelah doa digelar, kertas tersebut akan dibakar bersama-sama. “Ini salah satu kegiatan yang wajib digelar: memberikan doa kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia. Itu juga salah satu tanda bakti kita kepada leluhur yang telah meninggal,” katanya