Pada sesi Global Harmony, WS Adjie Chandra, Ketua Yayasan Tri Pusaka dari perwakilan Kong Hu Chu berbagi 3 ayat penting. Pertama, kita bisa harmonis walaupun tidak sama, jangan sama tapi tidak harmonis. Kedua, di empat penjuru angin sesungguhnya kita semua bersaudara. Ketiga, kalau kita ingin maju bantulah orang lain untuk maju, kalau kita ingin tegak bantulah orang lain untuk tegak.
Khonghucu mendukung keharmonisan global. Caranya dirumuskan lewat 8 agenda. Antara lain rajin belajar, praktek dalam kehidupan, bermanfaat bagi sesama, mencapai kesuksesan diri, membina diri, membereskan rumah tangga, mengatur masyakarat dan bernegara, serta menciptakan kedamaian di dunia. Fondasinya ada 3 prinsip. Pertama, manusia tidak lepas dari jalan suci Tuhan. Manusia tidak bisa hidup tanpa Tuhan. Kedua, manusia harus belajar mengenal sesama orang lain. Ketiga, Manusia harus merawat alam semesta dan memperhatikan lingkungan sekitar.
Dalam keluarganya sendiri, Wenshe Adjie Chandra mempraktekkan kerukunan beragama. Beliau adalah 5 bersaudara, dan masing-masing ada yang beragama Kristen, Katolik, dan Muslim. Mereka menjadi tokoh-tokoh di kelompoknya. Walau pun berbeda agama, akan tetapi saat sembahyangan untuk arwah orang tua, mereka semua bisa berdoa bersama. “Ibarat jari kita 5, bentuknya beda-beda sehingga bisa berfungsi dengan baik. Kalau sama malah tidak bisa melakukan apapun.”
Sehari-hari Bapak Wenshe Adjie Chandra ini sangat sibuk. Agendanya sangat padat, akan tetapi beliau tidak pernah mengeluh. Bahkan diundang diskusi lokal oleh Anand Krishna Center Joglosemar di Jogja pun beliau datang sendiri naik kereta. Pernah pada suatu hari kami datang ke kelenteng beliau dan melihat banyak sekali orang yang sudah tua hadir di kelenteng. Komentar beliau, “kami mulai dari nol kebanyakan umat adalah yang tua-tua, sisa umat Khonghucu zaman dahulu. Sedang generasi muda baru lahir setelah Gus Dur menyatakan Khonghucu adalah sebuah agama. Putra-putri penganut Konghucu di sekolah harus memilih agama Buddha, Katholik, Kristen Protestan atau Islam. Gus Dur begitu dekat di mata pengurus MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) Surakarta ini.
Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN) Xs. Tjhie Tjay Ing mengeluhkan saat ini di Indonesia hanya memiliki 8 Pendeta Agama Khonghucu. Itupun 3 Pendeta diantaranya berada di Kota Solo. Pendeta sebanyak itu tentu tidak bisa melayani Umat Khonghucu di Indonesia. MATAKIN Mendesak Pemerintah agar Memperhatikan masalah Pendidikan Agama Khonghucu di Indonesia,
Untuk memberikan ilustrasi beratnya perjuangan agama “baru” di Indonesia, berikut ini kami kutip dari forum tanya-jawab program Neo Interfaith Studies dari One Earth College of Higher Learning (oneearthcollege dot com) di mana penulis sebagai koordinator program.
Pada zaman kolonial, agama Buddha dan Khonghucu dan Tao ditekan sehingga didirikanlah Kelenteng Tridharma. Pada tahun 1966, Pemberontakan G30S PKI terjadi dan Presiden Soeharto pada waktu itu mencurigai keterlibatan RRC dalam pemberontakan komunis. Kemudian keluarlah kebijakan diskriminatif terhadap semua budaya dan tradisi Tionghoa. Semua kebudayaan China dilarang. Barongsai dilarang. Liong dilarang. Sekolah Mandarin ditutup. Imlek pun dilarang. Akhirnya dicari cara bagaimana supaya kelenteng bisa tetap berjalan walaupun agama Tao dan Konghucu tidak diakui. Dari pihak agama Buddha menawarkan “Bagaimana kalau menumpang saja dulu di Buddha.”
Akhirnya kelenteng diubah secara legal di atas kertas menjadi “vihara”. Syaratnya mudah saja, asal ada Dharmasala yang ada patung Buddhanya di bangunan. Makanya kalau kita sekarang ke kelenteng manapun, pasti ada sebuah ruangan khusus untuk Buddha. Di atas kertas namanya vihara, tapi kegiatan kelenteng jalan terus. Itulah sejarahnya kenapa di Indonesia sampai sekarang ada Vihara Tridharma.
Akan tetapi sebagai akibatnya pada waktu Agama Khonghucu diresmikan, maka pengikutnya tinggal yang tua-tua yang lebih merasakan pentingnya acara ritual, menjelang Dewa Kematian menghampiri mereka. Anak-anak mereka mengambil agama Buddha, Kristen atau Katholik dan bahkan Islam di sekolahnya.
Salah seorang peserta program neo interfaith studies bertanya…….. Sebagai keturunan Cina, saya dibesarkan di lingkungan Tridharma, an ecletic blend of Konfusian, Tao, and Buddhism. Yang menarik adalah pendekatan masyarakat Cina, dan ini jelas banget di berbagai film dan karya sastra mereka. “If you want to be a government official, learn Confucius”. “If you want to be a heretic (kadang2 di film, bahkan dibilang, jika anda mau jadi dewa), learn Tao”. “If you want to be a Buddha, learn Buddhism.” Saya pribadi agak heran juga, kenapa begitu ya? Membaca ulasan-ulasan di OE College, sepertinya tidak seperti itu pemahamannya, di OE College pemahaman agama menjadi dalam dan kita justru memahami esensi dari semua agama dan ternyata esensi dari semua agama tidak jauh berbeda satu dengan lainnya………
Salah seorang peserta diskusi di forum tersebut mengunggah komentar seorang Kaskuser: Taoisme, Nabinya Lao Zi, kitabnya Tao De Cing. Ajarannya mengajarkan bagaimana manusia hidup selaras dengan Tao, mencapai kesempurnaan bla bla bla…. Kenyataan: Gak ada yang baca Tao De Cing, umat biasanya hanya memuja dewa dewi………. Khonghucu, mengajarkan bagaimana manusia hidup di masyarakat, bertanggungjawab secara sosial, punya etika, dan lain-lain. Kitabnya ada. Kenyataan: Gak ada yangg baca kitabnya, orang ngikut tradisi saja, sembahyang ke kelenteng bakar dupa ke Khonghucu…….. Buddha, mengajarkan cara mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati, kitabnya banyak sekali. Kenyataan: Umat berkata: “Oh dewa baru! Mari kita taruh patungnya di kelenteng bersama Lao Zi dan Konghucu!”…….
Tanggapan dari Fasilitator Diskusi……… Tridharma sendiri merupakan gabungan antara Confucius, Tao dan Buddhist. Mereka bukan bergabung, cuma karena situasi di Indonesia itu membuat mereka disebut Tridarma, dan ajarannya berbeda namun tetap saling menghormati…… fasilitator tersebut kemudian menjelaskan sejarah vihara Tridharma. Fasilitator tersebut juga mengikuti pandangan Bapak Anand Krishna yang menghormati ketiga-tiga ajaran dan memahami bahwa esensinya ada persamaan dalam setiap keyakinan…….. perbedaannya pun tetap ada dan fasilitator tersebut mengambil contoh dari internet bagaimana ketiga ajaran memandang “seorang pengendara mobil yang mabuk”……..
Pengikut Confucius (Khonghucu) berfokus pada etika, mengatakan sangat malu karena orang tersebut telah menyimpang dari tugasnya, untuk keluarganya dan untuk reputasinya, orang yang tidak bersalah bisa tertabrak olehnya, dia menyalahi hukum negara…….
Pengikut Buddhist (Buddha) berfokus pada kasih dan kemelekatan membuat samsara, mengatakan dia kurang sifat kasih pada makhluk lain. Orang yang mabuk tersebut menderita, karena dia terikat dengan minuman keras dan tak dapat melepaskan keterikatannya……..
Pengikut Tao yang berfokus pada keselarasan dengan alam paham bahwa kejahatan yang diakibatkan oleh mengendarai mobil dalam keadaan mabuk itu adalah cara untuk memaksakan kebahagiaan pada diri sendiri (bagi pemabuk). Penggunaan alkohol untuk memaksakan kebahagiaan akan gagal, karena kita telah memaksa alam untuk membuat kita bahagia……..
Bapak Anand Krishna “menyadarkan” bahwa “kebenaran” tidak dapat “dibenarkan” melalui sistem demokrasi. Ajaran para nabi/orang suci bila dilakukan pemilihan secara demokratis tidak akan menang dengan jumlah suara orang yang belum sadar. Para nabi/orang suci berpegang pada kebenaran walau ditekan suara mayoritas penguasa……..
Demokrasi berdasarkan “suara terbanyak”, tidak cocok untukmu. Landasannya adalah “pendapat mayoritas” yang bisa berarti kekerasan dan penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kelompok yang memperoleh suara terbanyak akan selalu menang. Sistem Demokrasi bagi negara ini, harus berdasarkan kesadaran – kesadaran bahwa warga keturunan Cina dan Arab, India dan Barat memiliki hak yang sama sebagaimana dimiliki oleh mereka yang berasal dari Jawa dan dari Sumatra, dan dari Sulawesi atau daerah-daerah lain. Sekecil-kecilnya kelompok mereka – mereka tetap merupakan bagian tubuh Ibumu. Aku Ibu mereka semua. Aku Ibu kalian semua. (Ibu yang dimaksud adalah Ibu Pertiwi, red). Sistem Demokrasi yang aku dambakan bagi negara ini, akan memperhatikan kepentingan setiap kelompok, setiap insan. Dalam demokrasi berdasar kesadaran, yang berkuasa akan mendengar setiap suara. sebaliknya, yang mengeluarkan suara akan selalu berada di atas kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. # Reformasi, Gugatan Seorang “Ibu”, Anand Krishna, PT Grasindo, 1998.
Pemikiran seseorang tak bisa diadili. Oleh karena pandangan Pak Anand Krishna tentang kebhinekaan, beliau mengalami kezaliman peradilan di Indonesia. Setelah beberapa kelompok yang dianggap sesat seperti kelompok Lia Eden, kelompok-kelompok kecil lainnya, kemudian Ahmadiyah dan saat ini Syiah, Anda dapat menjadi korban berikutnya untuk di-anandkrishna-kan. Bersuaralah!!!!
Silakan membaca artikel Rekaman CCTV Kezaliman Hukum terhadap Anand Krishna http://hukum.kompasiana.com/2012/08/30/rekaman-cctv-kezaliman-hukum-terhadap-anand-krishna/ dan
Menyaksikan Tayang Ulang Kezaliman Peradilan Terhadap Anand Krishna
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/17/menyaksikan-tayang-ulang-kezaliman-peradilan-terhadap-anand-krishna/
Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasib mereka sendiri. Ubah nasib dan bersuaralah!!!!
http://hukum.kompasiana.com/2012/09/09/isu-agama-di-indonesia-menurut-wakil-umat-khonghucu/
Dalam keluarganya sendiri, Wenshe Adjie Chandra mempraktekkan kerukunan beragama. Beliau adalah 5 bersaudara, dan masing-masing ada yang beragama Kristen, Katolik, dan Muslim. Mereka menjadi tokoh-tokoh di kelompoknya. Walau pun berbeda agama, akan tetapi saat sembahyangan untuk arwah orang tua, mereka semua bisa berdoa bersama. “Ibarat jari kita 5, bentuknya beda-beda sehingga bisa berfungsi dengan baik. Kalau sama malah tidak bisa melakukan apapun.”
Sehari-hari Bapak Wenshe Adjie Chandra ini sangat sibuk. Agendanya sangat padat, akan tetapi beliau tidak pernah mengeluh. Bahkan diundang diskusi lokal oleh Anand Krishna Center Joglosemar di Jogja pun beliau datang sendiri naik kereta. Pernah pada suatu hari kami datang ke kelenteng beliau dan melihat banyak sekali orang yang sudah tua hadir di kelenteng. Komentar beliau, “kami mulai dari nol kebanyakan umat adalah yang tua-tua, sisa umat Khonghucu zaman dahulu. Sedang generasi muda baru lahir setelah Gus Dur menyatakan Khonghucu adalah sebuah agama. Putra-putri penganut Konghucu di sekolah harus memilih agama Buddha, Katholik, Kristen Protestan atau Islam. Gus Dur begitu dekat di mata pengurus MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia) Surakarta ini.
Majelis Tinggi Agama Khonghucu (MATAKIN) Xs. Tjhie Tjay Ing mengeluhkan saat ini di Indonesia hanya memiliki 8 Pendeta Agama Khonghucu. Itupun 3 Pendeta diantaranya berada di Kota Solo. Pendeta sebanyak itu tentu tidak bisa melayani Umat Khonghucu di Indonesia. MATAKIN Mendesak Pemerintah agar Memperhatikan masalah Pendidikan Agama Khonghucu di Indonesia,
Untuk memberikan ilustrasi beratnya perjuangan agama “baru” di Indonesia, berikut ini kami kutip dari forum tanya-jawab program Neo Interfaith Studies dari One Earth College of Higher Learning (oneearthcollege dot com) di mana penulis sebagai koordinator program.
Pada zaman kolonial, agama Buddha dan Khonghucu dan Tao ditekan sehingga didirikanlah Kelenteng Tridharma. Pada tahun 1966, Pemberontakan G30S PKI terjadi dan Presiden Soeharto pada waktu itu mencurigai keterlibatan RRC dalam pemberontakan komunis. Kemudian keluarlah kebijakan diskriminatif terhadap semua budaya dan tradisi Tionghoa. Semua kebudayaan China dilarang. Barongsai dilarang. Liong dilarang. Sekolah Mandarin ditutup. Imlek pun dilarang. Akhirnya dicari cara bagaimana supaya kelenteng bisa tetap berjalan walaupun agama Tao dan Konghucu tidak diakui. Dari pihak agama Buddha menawarkan “Bagaimana kalau menumpang saja dulu di Buddha.”
Akhirnya kelenteng diubah secara legal di atas kertas menjadi “vihara”. Syaratnya mudah saja, asal ada Dharmasala yang ada patung Buddhanya di bangunan. Makanya kalau kita sekarang ke kelenteng manapun, pasti ada sebuah ruangan khusus untuk Buddha. Di atas kertas namanya vihara, tapi kegiatan kelenteng jalan terus. Itulah sejarahnya kenapa di Indonesia sampai sekarang ada Vihara Tridharma.
Akan tetapi sebagai akibatnya pada waktu Agama Khonghucu diresmikan, maka pengikutnya tinggal yang tua-tua yang lebih merasakan pentingnya acara ritual, menjelang Dewa Kematian menghampiri mereka. Anak-anak mereka mengambil agama Buddha, Kristen atau Katholik dan bahkan Islam di sekolahnya.
Salah seorang peserta program neo interfaith studies bertanya…….. Sebagai keturunan Cina, saya dibesarkan di lingkungan Tridharma, an ecletic blend of Konfusian, Tao, and Buddhism. Yang menarik adalah pendekatan masyarakat Cina, dan ini jelas banget di berbagai film dan karya sastra mereka. “If you want to be a government official, learn Confucius”. “If you want to be a heretic (kadang2 di film, bahkan dibilang, jika anda mau jadi dewa), learn Tao”. “If you want to be a Buddha, learn Buddhism.” Saya pribadi agak heran juga, kenapa begitu ya? Membaca ulasan-ulasan di OE College, sepertinya tidak seperti itu pemahamannya, di OE College pemahaman agama menjadi dalam dan kita justru memahami esensi dari semua agama dan ternyata esensi dari semua agama tidak jauh berbeda satu dengan lainnya………
Salah seorang peserta diskusi di forum tersebut mengunggah komentar seorang Kaskuser: Taoisme, Nabinya Lao Zi, kitabnya Tao De Cing. Ajarannya mengajarkan bagaimana manusia hidup selaras dengan Tao, mencapai kesempurnaan bla bla bla…. Kenyataan: Gak ada yang baca Tao De Cing, umat biasanya hanya memuja dewa dewi………. Khonghucu, mengajarkan bagaimana manusia hidup di masyarakat, bertanggungjawab secara sosial, punya etika, dan lain-lain. Kitabnya ada. Kenyataan: Gak ada yangg baca kitabnya, orang ngikut tradisi saja, sembahyang ke kelenteng bakar dupa ke Khonghucu…….. Buddha, mengajarkan cara mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati, kitabnya banyak sekali. Kenyataan: Umat berkata: “Oh dewa baru! Mari kita taruh patungnya di kelenteng bersama Lao Zi dan Konghucu!”…….
Tanggapan dari Fasilitator Diskusi……… Tridharma sendiri merupakan gabungan antara Confucius, Tao dan Buddhist. Mereka bukan bergabung, cuma karena situasi di Indonesia itu membuat mereka disebut Tridarma, dan ajarannya berbeda namun tetap saling menghormati…… fasilitator tersebut kemudian menjelaskan sejarah vihara Tridharma. Fasilitator tersebut juga mengikuti pandangan Bapak Anand Krishna yang menghormati ketiga-tiga ajaran dan memahami bahwa esensinya ada persamaan dalam setiap keyakinan…….. perbedaannya pun tetap ada dan fasilitator tersebut mengambil contoh dari internet bagaimana ketiga ajaran memandang “seorang pengendara mobil yang mabuk”……..
Pengikut Confucius (Khonghucu) berfokus pada etika, mengatakan sangat malu karena orang tersebut telah menyimpang dari tugasnya, untuk keluarganya dan untuk reputasinya, orang yang tidak bersalah bisa tertabrak olehnya, dia menyalahi hukum negara…….
Pengikut Buddhist (Buddha) berfokus pada kasih dan kemelekatan membuat samsara, mengatakan dia kurang sifat kasih pada makhluk lain. Orang yang mabuk tersebut menderita, karena dia terikat dengan minuman keras dan tak dapat melepaskan keterikatannya……..
Pengikut Tao yang berfokus pada keselarasan dengan alam paham bahwa kejahatan yang diakibatkan oleh mengendarai mobil dalam keadaan mabuk itu adalah cara untuk memaksakan kebahagiaan pada diri sendiri (bagi pemabuk). Penggunaan alkohol untuk memaksakan kebahagiaan akan gagal, karena kita telah memaksa alam untuk membuat kita bahagia……..
Bapak Anand Krishna “menyadarkan” bahwa “kebenaran” tidak dapat “dibenarkan” melalui sistem demokrasi. Ajaran para nabi/orang suci bila dilakukan pemilihan secara demokratis tidak akan menang dengan jumlah suara orang yang belum sadar. Para nabi/orang suci berpegang pada kebenaran walau ditekan suara mayoritas penguasa……..
Demokrasi berdasarkan “suara terbanyak”, tidak cocok untukmu. Landasannya adalah “pendapat mayoritas” yang bisa berarti kekerasan dan penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Kelompok yang memperoleh suara terbanyak akan selalu menang. Sistem Demokrasi bagi negara ini, harus berdasarkan kesadaran – kesadaran bahwa warga keturunan Cina dan Arab, India dan Barat memiliki hak yang sama sebagaimana dimiliki oleh mereka yang berasal dari Jawa dan dari Sumatra, dan dari Sulawesi atau daerah-daerah lain. Sekecil-kecilnya kelompok mereka – mereka tetap merupakan bagian tubuh Ibumu. Aku Ibu mereka semua. Aku Ibu kalian semua. (Ibu yang dimaksud adalah Ibu Pertiwi, red). Sistem Demokrasi yang aku dambakan bagi negara ini, akan memperhatikan kepentingan setiap kelompok, setiap insan. Dalam demokrasi berdasar kesadaran, yang berkuasa akan mendengar setiap suara. sebaliknya, yang mengeluarkan suara akan selalu berada di atas kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. # Reformasi, Gugatan Seorang “Ibu”, Anand Krishna, PT Grasindo, 1998.
Pemikiran seseorang tak bisa diadili. Oleh karena pandangan Pak Anand Krishna tentang kebhinekaan, beliau mengalami kezaliman peradilan di Indonesia. Setelah beberapa kelompok yang dianggap sesat seperti kelompok Lia Eden, kelompok-kelompok kecil lainnya, kemudian Ahmadiyah dan saat ini Syiah, Anda dapat menjadi korban berikutnya untuk di-anandkrishna-kan. Bersuaralah!!!!
Silakan membaca artikel Rekaman CCTV Kezaliman Hukum terhadap Anand Krishna http://hukum.kompasiana.com/2012/08/30/rekaman-cctv-kezaliman-hukum-terhadap-anand-krishna/ dan
Menyaksikan Tayang Ulang Kezaliman Peradilan Terhadap Anand Krishna
http://hukum.kompasiana.com/2012/08/17/menyaksikan-tayang-ulang-kezaliman-peradilan-terhadap-anand-krishna/
Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu mengubah nasib mereka sendiri. Ubah nasib dan bersuaralah!!!!
http://hukum.kompasiana.com/2012/09/09/isu-agama-di-indonesia-menurut-wakil-umat-khonghucu/