Senin, Maret 08, 2010

Ketika Suku Terasing Mengenal Aksara

JAMBI - Nelikat, 13 tahun, walau kini belum masuk usia remaja, namun dia sudah menjadi tumpuan harapan bagi keluarganya. Setidaknya ketika kedua orang tuanya ingin menjual getah jernang, rotan dan berbagai hasil hutan lainnya, maka dia selalu diminta untuk turut serta, agar tidak tertipu sipembeli.

Wajar saja, sebab Nelikat merupakan salah seorang dari sekian banyak warga Suku Anak Dalam (SAD) yang lebih dikenal dengan sebutan Orang Rimba itu, kini sudah bisa baca dan menulis. Tiga tahun lalu Nelikat dan teman-temannya mulai mengenal dan diajari membaca-menulis dan berhitung dari para fasilitator Warung Informasi (Warsi), selaku penggagas program ini.

Padahal, dunia baru bagi Orang Rimba, termasuk yang bermukim di dalam kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dengan memiliki luas sekitar 6.500 hektare, dianggap sangat bertentangan dengan kebiasaan nenek moyang mereka.

Warsi mulai menggagas program pendidikan alternatif ini sejak tahun 1998, melalui ide salah seorang anggotanya bernama Yusack Adrian Hutapea. Walau akhirnya sang penggagas harus merejang maut akibat malaria yang diperolehnya saat berada di hutan belantara TNBD.

Walau Yusack kini telah tiada, namun bukan berarti cita-citanya pun ikut mati. Bermunculan fasilitator lain untuk meneruskan asa itu, seperti Saur Marlina “Butet” Manurung (Oktober 1999–September 2003).

Guru rimba lainnya, seperti Oceu Apristawijaya (September 2002-Desember 2003), Saripul Alamsyah Siregar (September 2003-Januari 2005)dan Agustina D. Siahaan (September 2003 – April 2005).

Kemudia dilanjuti Ninuk Setya Utami (Januari 2005-Desember 2006), Fery Apriadi (Januari 2005) dan Galih Sekar Tyas Sandra (Juni 2006-akhir 2008) dan sekarang dilanjuti Abdul Rahmat.

Kepada Smart Abdul Rahmat mengatakan, pihaknya sebenarnya agak merasa jengah, mengapa setiap kali berbicara persoalan Anak Rimba anak panah selalu mangarah ke Warsi, bukannya ini adalah persoalan bersama termasuk pemerintah.

“Namun kami kami tak akan menutup diri jika ada yang meminta informasi, kami akan berikan sebisanya”, ujarnya.

Wajar memang jika Abdul Rahmat dan teman-temannya di Warsi merasakan seperti itu, karena tanggung jawab untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk memberi pendidikan dan ilmu pengetahuan buat Orang Rimba, mengingat mereka pun bagian dari warga Negara.


Seperti diketahui kehidupan mereka terisolir, baik secara wilayah maupun secara perabadan. Mereka tersebar dalam 10 kelompok besar, berada dalam kawasan TNBD dan tiga kelompok lainnya berada di perbatasan atau Jalan Lintas Sumatera, disebut kawasan Bio Region.

Kini jumlah peserta fasilitasi tersebut 115 orang, terbagi laki-laki sebanyak 103 orang dan 12 orang perempuan.

Para peserta tidak terbatas anak-anak saja, tapi juga para orang tua, karena sasaran program ini untuk memperkenalkan aksara, dengan harapan dapat mempermudah akses bagi mereka berkomunikasi dan bersosialisasi dengan masyarakat desa sekitar, seperti kegiatan jual beli bisa mereka lakukan dan tidak bisa ditipu.

Harapan perlunya Orang Rimba melek huruf dan aksara, merupakan ide bersama, walau kini sudah berjalan cukup lancar, namun bukan berarti awalnya juga demikian, karena diperlukan kerja ekstra.

Awalnya Orang Rimba menolak program ini, karena dianggap tak penting. Buat mereka yang terpenting yaitu menjaga hutan, agar ruh nenek moyang tidak marah.

Sistem belajar atau kurikulum yang dipakai dalam kegiatan belajar diusahakan menyesuaikan dengan kurikulum sekolah negeri, seperti bentuk kelas jauh, Keaksaraan Fungsional, Paket A, Paket B serta SMP terbuka. Bahkan mereka yang berada di kawasan Bio Region sudah bisa bersekolah di sekolah negeri.

Mereka tidak membutuhkan ‘tempat belajar’, tetapi butuh tempat berlindung. Kegiatan ini bersifat fluktual. Setiap pertengahan tahun mereka berpindah (melangun), sehingga kegiatan belajar menjadi terhenti.

Kendala lain juga muncul, mengingat beberapa tokoh adat (temenggung) menganggap kemajuan anak-anak mereka sekarang justru dianggap tidak baik, karena dianggap menggeser nilai adat dengan dunia modern.

Warsi sesungguhnya sangat membutuhkan adanya kerjasama dan dukungan pemerintah daerah. Walau pun sekarang ada bantuan dari pemerintah daerah belum menyentuh pada substansi tujuan utama program ini.

Menariknya menurut Abdul Rahmat, Walau hanya mengenakan cawat (sejenis celana dalam)dan tanpa alas kaki serta belajar di alam terbuka,namun mereka tampak selalu semangat dan antusias.

Materi pengajaran yang diberikan fasilitator lebih melihat stuasi dan kondisi serta kebutuhan warga minoritas ini. Bahasa pun dalam mengajar menggunakan bahasa Orang Rimba, dengan harapan mereka bisa lebih cepat mengerti sekaligus tidak akan menghilangkan bahasa ibu mereka.

Metode pun yang dipakai lebih menggunakan metode interaktif, sehingga muncul rasa emosional, tapi tetap mengacu pada budaya Orang Rimba.

Materi pendidikan pun sangat sederhana, yakni mengajarkan baca-tulis dan hitung bagi anak pemula.

Khusus bagi para kader sudah berkembang pada pendidikan bagaimana fungsi hutan dan cara pemeliharaannya, belajar bercocok tanam, antara lain tentang menanam karet, jernang dan rotan.

Waktu belajar pun tidak beraturan, bila kondisi memungkinkan diadakan pada pagi, siang atau malam (menggunakan lampu togok).

Sekarang kegiatan itu telah tampak membuahkan hasil setidaknya dari 1.322 jiwa Orang Rimba penghuni TNBD, sekitar pada pertengahan tahun 2007 saja sebanyak 237 orang diantaranya sudah terbebas buta aksara.

Sementara itu, Wasino, Kepala Biadang Non Formal Dinas Pendidikan Nasional Provinsi Jambi, mengakatan bahwa pemerintah sudah menganggarkan dana untuk keaksaraan fungsional. Bantuan tersebut diambil langsung dari dana APBD diperuntukkan bagi 2710 warga dan APBN sasarannya untuk 1000 orang warga, namun Wasino tidak mengatakan berapa besaran anggaran tersebut. Hanya saja Program Khusus warga orang rimba belum ada. (IA)