JAMBI - Beberapa tahun yang lalu seorang mentalis terkenal keturunan Tionghoa, Dedi Corbuzier dalam sebuah tabloid keluarga mengatakan, andai pada saat hari raya Imlek berbarengan dengan sebuah panggilan lamaran kerja, ia lebih memprioritaskan lamaran kerja tersebut dibandingkan dengan merayakan Imlek. Sebab baginya Imlek tidak memiliki pengaruh dan makna apa-apa, sehingga dianggap seperti hari-hari biasa yang tidak ada keistimewaannya sama sekali dan tidak perlu dirayakan apalagi dibesar-besarkan. Bagi seorang Dedi secara pribadi tentu saja hal ini adalah sah-sah saja serta tidak berpengaruh apa-apa. Tetapi ketika pernyataan tersebut dimuat pada sebuah tabloid, kontan menimbulkan respon, khususnya dari orang Tionghoa Indonesia yang beragama Khonghucu. Bagi yang menganggap Imlek sangat sakral dan penting, pernyataan Dedi sebagai orang Indonesia keturunan Tionghoa menurut hemat penulis amat menyakitkan. Tahun Baru Imlek bagi penganut Khonghucu merupakan hari raya keagamaan yang sangat penting, sakral dan bermakna.
Jika ditinjau dari aspek sejarah, Imlek distandarisasi pertama kali pada zaman Dinasti Han (202 SM-220) oleh Kaisar Han Wu Di sebagai wujud penghormatan Kaisar terhadap sabda Nabi Khonghucu di dalam Kitab Lun Yu. Untuk menghormati Nabi Khonghucu, tahun pertama penanggalan dihitung berdasarkan kelahiran Nabi Khong Hu Cu yang lahir 551 SM. Oleh karena itu, bisa dilihat tahun Imlek pada tahun ini adalah tahun 2560, hitungan tersebut diambil dari 2009+551 = 2560.
Jika ditinjau dari aspek sosial kemasyarakatan makna Imlek adalah semangat bersyukur kepada Tuhan, memperbaharui diri, kekeluargaan serta kebersamaan. Klaim Imlek sebagai Tahun Baru orang Tionghoa adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah, sebab begitulah kenyataannya. Hal ini juga berlaku bagi hari raya Cheng Beng, Pek Chun, Cap Go Meh dsb (yang jelas-jelas hari raya tersebut merupakan hari raya agama Khonghucu). Namun menurut para ahli, kenyataan tersebut terinspirasi dengan apa yang dikatakan oleh William McNaughton, "Hal-hal yang diajarkan oleh Khong Hu Cu adalah peradaban yang sudah berabad-abad lamanya dipegang dengan sangat teguh oleh bangsa Tionghoa. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dikatakan Tiongkok adalah Khonghucu. Begitu juga halnya, Khonghucu adalah Tiongkok (Paul Strathen, Confucius In 90 Minutes)". Tokoh Melayu Seorang tokoh Melayu Tionghoa yang bernama Kwee Tek Hoay juga menyatakan bahwa semua orang Tionghoa adalah Khonghucu, sebab sebelum Tiongkok menjadi Republik, agama Khonghucu dan Konfusianisme merupakan sistem moralitas, kehidupan sosial-politik, dan religi seluruh masyarakat Tiongkok. Sehingga pengaruh agama Khonghucu dan Konfusianisme sangat mengakar dalam kehidupan orang-orang Tionghoa sampai abad 21 ini.
Bahkan beberapa ahli Barat menyimpulkan bahwa Konfusianisme merupakan "state religion" bagi kerajaan-kerajaan Tiongkok kuno. Juga diakui atau tidak, Konfusianisme sangat mempengaruhi cara berprilaku dan berpikir orang Jepang, Korea, Vietnam dsb. Korea di bawah Dinasti Chosun telah memproklamirkan diri sebagai "Negara Khonghucu" Di Indonesia juga konon ada catatan tidak resmi yang menyatakan bahwa dahulu hampir semua orang Tionghoa di Indonesia adalah Khonghucu , hal ini diperkuat dengan adanya Penetapan Presiden No 1 Th 1965 yang kemudian menjadi UU No 1 PNPS 1965 oleh Undang-Undang No 5 tahun 1969 yang masih berlaku hingga sekarang ini, Khonghucu diakui sebagai salah satu agama besar yang memiliki peranan dan sejarah dalam perkembangan Indonesia sehingga mendapatkan perlakuan yang sama dengan agama yang lainnya. Setelah keluarnya Inpres No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan terhadap budaya Cina, termasuk di dalamnya larangan untuk merayakan perayaan agama Cinadanbahasa mandarin secara terbuka dimuka umum yangsangat diskriminatif itu, diterima atau tidak karena dikriminasi sosial dan birokrasi oleh Inpres tersebut telah menyebabkan banyaknya penganut Khonghucu yang eksodus. Mengutip Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam Jawa "bahwa sejarah harus diungkap secara jujur, fairness dan terbuka meskipun terkadang pahit untuk dirasakan". Di Indonesia, Imlek secara nasional pertama kali diprakarsai oleh MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan dirayakan sebagai hari raya agama Khonghucu. Karena memang Indonesia tidak pernah mengenal hari raya suatu golongan etnis tertentu. Sehingga penetapan Imlek sebagai hari raya keagamaan dikarenakan adanya pengakuan Khonghucu sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia (sesuai dengan sikap PBB terhadap agama Khonghucu/Confucianism) dan sejarah di Indonesia membuktikan diantara organisasi-organisasi Tionghoa yang lainnya memang perlu diakui secara jujur dan terbuka bahwa MATAKIN-lah pionir (dengan bantuan Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholis Madjid, Djohan Effendy dan beberapa tokoh agama lainnya) yang sejak dahulu paling konsisten memperjuangkan persamaan hak-hak agama Khonghucu dan etnis Tionghoa walaupun dalam kungkungan dan intimidasi rezim Orde Baru yang sangat diskriminatif itu. Sekadar flash back ketika zaman Orde Baru Imlek dianggap sebagai suatu hal tabu dan menyesatkan yang harus dieliminasi keberadaanya. Sebagai contoh ketika Surjadi Sudirdja menjadi Gubernur Jakarta dikatakan bahwa Imlek dilarang dirayakan, Imlek hanya boleh dirayakan di rumah-rumah saja secara tertutup, hal ini pun diperkuat Direktur Urusan Agama Budha Depag Drs Budi Setyawan yang didasari oleh surat dari Dirjen Bimas Hindhu dan Budha Depag No H/BA.00/29/1/1993, di pelbagai surat kabar menyatakan larangan merayakan Imlek di Vihara dan Cetya. Walubi melalui Dewan Pimpinan Pusatnya pun ikut-ikutan mengeluarkan surat edaran No 07/DPP-WALUBI/KU/93, tertanggal 11 Januari 1993 menyatakan bahwa Imlek bukanlah merupakan hari raya agama Budha, sehingga Vihara Mahayana tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dengan menggotong Toapekong, Barongsai dll. Pada masa itu bisa dikatakan semua fenomena yang mengidap culture shock itu berbondong-bondong menyerang Imlek. Semua orang Tionghoa yang bukan beragama Khonghucu seolah-olah memusuhi dan mejauhi Imlek, bahkan pada hari Tahun Baru Imlek tidak sedikit sekolah yang justeru mengadakan test ulangan pada murid-muridnya agar masuk sekolah dan tidak merayakan tahun baru imlek. Namun dalam era reformasi kenyataan menyakitkan itu menjadi berbalik arah. Sekarang semua orang Tionghoa Indonesia mengklaim bahwa Imlek adalah sebagai hari raya tahun barunya.
Sumbangsih Nyata Perlu diingat bahwa Imlek bukan milik siapapun, melainkan suatu perayaan besar yang dimiliki dunia saat ini yang berdasarkan fakta sejarah ilmiah bahwa Imlek lahir dan distandarisasi oleh dinasti Han untuk menghargai jasa besar yang telah diberikan Khong Hu Cu pada masyarakat banyak. Maka dari itu juga para sinolog barat selalu menyebut Imlek dengan Anno Confuciani/AC (dihitung berdasarkan tahun kelahiran Khonghucu) seperti halnya Anno Domini/ AD (in the year of our lord) Apapun itu, hendaknya tidak perlu dipermasalahkan lagi, akan tetapi atas nama kejujuran dan sportivitas perlu dicatat oleh sejarah secara benar adanya dan konsekuen. Sebaiknya etnis Tionghoa Indonesia yang sekarang sudah mendapatkan hak-haknya dengan lebih baik perlu memberikan sumbangsih yang nyata bagi Indonesia tercinta. Sebab sebagai orang Indonesia yang asli (menurut UU Kewarganegaraan yang baru), sekarang sudah waktunya seluruh komponen bangsa untuk bangkit bersama bersatu mengikis segala krisis yang kita alami di negeri ini, tanpa melihat asal-usul, golongan tertentu akan tetapi dengan melihat suatu fenomena sebagai anak bangsa yang sedang mengalami kesusahan bersama sebagai saudara sebangsa dan se Tanah Air. Karena keadaan demografi dan landscape politik sekarang ini sangatlah berbeda. Konsep kebangsaan lama yang terlalu menekankan homogenitas diatas keragaman tidaklah mengikuti irama zaman. Kebudayaan yang kita hadapi bukan cuma nasional tetapi juga multinasional. Konfigurasi kebudayaan Indonesia akan semakin mendekati konfigurasi kebudayaan dunia. Indonesia akan menghadapi kenyataan semakin berkembangnya kebudayaan Amerika, Eropa, Arab, Tiongkok, Jepang, Korea, India dsb. Keanekaan tidak hanya antar suku bangsa yang telah ada, tetapi dengan kebudayaan bangsa lain. Jadi konsep kebangsaan zaman kini mungkin haruslah menjadi suatu konsep yang terbuka dan semakin menuju pada semangat internasionalisme yang merujuk pada perdamaian dunia. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan Khong Hu Cu bahwa "Semua Manusia Adalah Bersaudara". Karena Tian, Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah membedakan manusia, tidak ada seorangpun yang diistimewakan dan tidak ada suatu kaum yang ditinggikan diatas yang lainnya. Dan bukankah Bung Karno pernah menegaskan bahwa Bhineka Tunggal Ika janganlah dilihat secara statis, melainkan harus diartikan secara dinamis. Kata beliau : Bhineka = das Sein yakni keadaan/ realitas yang terlanjur sudah ada, tetapi Tunggal Ika = das Sollen yakni tujuan yang kita cita-citakan bersama. Dan kita sedang berada di "das Sein" menuju "das Sollen" atau dalam rangka menuju nation building dari "persukuan" kita menuju "ke-Indonesia-an (wawasan kebangsaan) dan bahkan mungkin nanti menuju pada perdamaian dunia. Harkat dan martabat seseorang berpulang pada dirinya masing-masing, setiap orang berpotensi untuk selamat, karena setiap individu dianugerahi fitrah oleh Tuhan. Maka dari itu siapapun dapat menjadi orang yang bijak/soleh/al-ihsan/Junzi. Bukan karena keanggotaan seseorang terhadap suatu institusi tetapi yang penting adalah pengalaman kualitas kemanusiaanya. Bukan pula banyak sedikitnya pengetahuan agama seseorang yang penting, melainkan ketulusan hati dan kesetiaanya kepada hal yang benar. Semoga semangat Imlek dapat membawa kita menjadi individu yang baru dan senantiasa berbudi luhur sehingga dapat berguna bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Gong He Xin Xi, Wan Shi Ru Yi. Happy Anno Confuciani 2560. Oleh Kristan Penulis adalah Ketua Umum Generasi Muda Khonghucu Indonesia(GEMAKU) dan Kordinator Jaringan Tionghoa Muda Indonesia (JTM)