Beberapa hakim Mahkamah Konstitusi (MK) beranggapan bahwa kotestan atau peserta Pilkada hampir seluruhnya curang. Baik yang kalah atau yang menang. Makanya tak mengherankan jika dalam sidang di MK, pihak penggugat (pemohon) dan pihak tergugat (pihak terkait) saling serang dan menunjukan kecurangan masing – masing. Tinggal drajat kecurangan memang sangat bervariasi, tergantung stadiumnya. Dan menurut pengamatan saya, incumbent (pertahana) adalah pihak yang lebih banyak melakukan kecurangan. Lalu kenapa pihak pertahana selalu menang dalam sengketa di MK? Ya, karena pihak penggugat (pemohon) tidak mampu menunjukan alat bukti dan saksi yang cukup. Berikut saya berikan beberapa contoh kecurangan yang pembuktiannya sulit didapatkan.
Menempatkan orang di KPU
KPU (Provinsi atau Kabupaten/ Kota) memengang peranan strategis sebagai penyelenggara Pilkada. Oleh karena itu, mengapa Kepala Daerah memiliki kepentingan besar menempatkan orang-orang mereka di tubuh KPU. Terutama jika kepala daerah ingin mencalonkan diri kembali dalam Pilkada selanjutnya. Atau mencalonkan keluarga untuk mengganti kedudukannya. Dalam proses seleksi calon anggota KPU oleh Tim seleksi (Timsel) sudah ada peran serta kepala daerah di dalamnya. Apakah memberi rekomendasi siapa saja yang menjadi anggota TimSel bahkan merekomendasi siapa saja anggota KPU yang bisa masuk ke 10 besar. Kalau mau dibilang sistematis, ya seperti ini. Sudah dipersiapkan sejak awal. Bahkan Pilkada yang baru akan berlangsung 3 tahun lagi, misalnya. Dan ini luput dari perhatian calon Kepala Daerah lain. Jika kemudian ada gugatan ke MK, bisakah pihak pemohon membuktikan keterkaitan ini. Susah.
Ada pihak yang lebih memegang peranan kunci lebih strategis lagi, yaitu Sekretaris KPU. Seperti halnya Sekda, Sekretaris KPU inilah yang memimpin jajaran birokrasi atau staff KPU yang menangani hal-hal teknis. Bahkan Sekretaris KPU merangkap juga sebagai Pejabat Penanggungjawab Anggaran. Sekretaris KPU adalah PNS yang ditempatkan oleh Kepala Daerah. Jika anggota KPU memiliki kewenangan pengambil kebijakan, maka Sekretaris KPU menjadi komandan untuk urusan teknis. Andai seorang Kepala Daerah sudah menempatkan dua orang sebagai anggota KPU dan satu orang sebagai Sekretaris KPU, sudah cukup untuk mengendalikan jalannya KPU. Sekreatris KPU lah yang mengerjakan hal teknis seperti: pencetakan surat suara sampai penghitungan hasil pemungutan suara secara manual.
Undian Nomor Urut Calon
Untuk hal yang dianggap remeh seperti ini, kadang juga bagian dari permainan pihak KPU. Hampir semua calon Kepala Daerah menginginkan mendapat nomor satu atau nomor favorit yang diinginkan. Semua itu bisa diatur. Modusnya bermacam-macam. Diantaranya, nomor diinginkan diberi perekat di dasar kotak. Calon yang sudah “deal” dengan KPU, akan dipanggil lebih awal, dan diberi tahu sebelumnya gulungan nomor di kotak tertutup ambil yang agak keras karena direkatkan. Ada juga modus, nomor sudah ditaruh di bawah bangku masing-masing calon yang hadir. Dan Pihak yang sudah deal, akan diberi tahu kursi yang mana harus dia duduk. Dan masih banyak lagi modusnya. Apakah ini bisa dibuktikan?. Susah.
Konsolidasi PPK hingga KPPS
Upaya sistematis kembali dilakukan. PPK (petugas tingkat Kecamatan) dipilih oleh KPU. Jika sudah ada rencana dan penempatan orang, maka orang-orang KPK pun diseleksi menurut kepentingan. Bahkan sudah ada perjanjian awal, bahwa yang bersangkutan bisa dipilih menjadi anggota PPK, jika merekrut petugas PPS (desa) dan KPPS (TPS) sesuai kepentingan. Apakah Kepala Daerah terlibat dalam proses ini. Tentu tidak. Dia sudah cukup memberi perintah kepada KPU dan selanjutnya anggota KPU akan memerintahkan jajaran di bawahnya hingga KPPS. Apakah upaya sistematis ini bisa dibuktikan?. Susah.
Kehadiran Kepala Daerah paling dalam acara ceremoni atau pembukaan acara seperti Pantarlih atau Diklat semua jajaran PPK hingga KPPS. Biasanya dengan modus, memberi tambahan honorarium yang diambil dari APBD. Naik Rp. 100.000, saja, petugas senangnya minta ampun. Bentuk dari Kampanye terselubung.
Panwaslu/ BawasluCaranya mirip dengan seleksi anggota KPU. Keikutsertaan Kepala Daerah di dalamnya saat memberi rekomendasi. Cara kerjanya sedehana saja. Mengawasi terus menerus pergerakan lawan dan timnya, hingga sampai membubarkan pertemuan yang dilakukan calon Kepala Daerah lain. Sebaliknya, jika ada laporan dari pihak lawan, Panwas bisa saja mengatakan tidak bisa diproses ke pelanggaran hukum karena tidak cukup bukti. Jika anggota Panwas dijadikan saksi di persidangan MK, dia bisa mengatakan bahwa incumbent tidak melakukan pelanggaran hukum karena saksi dan bukti tidak cukup.
Mobilisasi PNS
Bukan rahasia lagi, jika pihak incumbent dapat memobilisasi PNS. Biasanya disertai ancaman dan penghargaan. Jika yang ketahuan tidak mendukung, siap-siap saja untuk dimutasi ke wilayah kering. Sebaliknya, pihak yang dianggap berjasa akan diberikan promosi. Makanya, banyak kalangan PNS (terutama Kepala Dinas) yang berebut mencari muka di depan Kepala Daerah. Berharap bisa diangkat jadi Sekda atau pindah ke Dinas yang lebih basah untuk periode selanjutnya. Jangan dikira, kampanye untuk pihak incumbent menggunakan dana sendiri. Bahkan banyak Kepala Dinas yang mencari dana, entah dari anggaran Dinas atau meminta dari para cukung (pemborong). Situasi ini juga yang dijadikan kesempatan para Kepala Dinas, merampok para kontraktor dengan alasan, “bapak mau maju”. Pemborongpun tidak bisa berbuat banyak karena takut tender akan datang, dia tidak dapat proyek lagi.
Modus mobilisasi PNS pun beragam. Dinas pendidikan dapat melakukan pertemuan para guru dan wali murid. Kadang kepala sekolah dibawah ancaman. Dinas pertanian, menggunakan program pembagian pupuk gratis, hand traktor yang dilakukan oleh PPL. Dinas PU/ Kimpraswil, menjelang Pilkada sibuk membuat jalan hotmix di wilayah yang potensial menang. Dharma wanita yang dipimpin oleh ibu Bupati/ Walikota, melakukan karya bakti dan pembagian susu gratis di setiap Posyandu. Pemerintahan Desa, dapat memberi instruksi kepada semua Kades dengan iming-iming ada penambahan Anggaran Dana Desa (ADD). Babinsa yang menjaga setiap TPS, dapat dikonsolidasikan. Semua aparatur dapat dimobilisasi. Tanpa harus secara terang-terangan bilang pilih incumbent. Hal-hal seperti ini, sulit untuk dibuktikan.
Kecurangan Lainnya
Jika semua aparatur dan penyelenggara sudah bisa terkuasai, tidaklah sulit untuk memenangkan Pilkada. Baik itu atas intruksi langsung maupun kreasi dari masing-masing aparatus. Meskipun incumbent memiliki tim sukses dan tim partai, tetapi aparatur dan penyelenggara inilah yang menjadi motor utamanya. Bekerja secara terstruktur, rapi dan tersembunyi. Menjelang pemungutan suara, pihak penyelenggara bisa saja tidak membagi undangan bahkan kartu pemilih kepada wilayah yang dianggap sebagai basis musuh; mencetak kertas suara melebihi yang sudah ditentukan, dan dipersiapkan kotak suara yang sudah berisi; merekayasa pemilih fiktif dan membuat TPS fiktif di desa-desa terpencil; Mengubah dokumen C1 hasil penghitungan suara. Dan lain sebagainya.
Sebenarnya masih banyak lagi, tetapi nanti tulisan ini kepanjangan dan buat bosen membacanya. Untuk menambah perbendaharaan bentuk-bentuk kecurangan Pilkada, anda dapat membaca Risalah sidang perkara PHPU di MK dari sejumlah Pilkada yang pernah berlangsung. Saya sendiri baru sempat membaca sekitar 200 risalah sidang. Yang dari itu semua, bahwa kecurangan itu ada tapi sulit dibuktikan.
Sumber: Hendra Budiman
http://hukum.kompasiana.com/2013/05/02/kode-curang-pilkada-556779.html
Menempatkan orang di KPU
KPU (Provinsi atau Kabupaten/ Kota) memengang peranan strategis sebagai penyelenggara Pilkada. Oleh karena itu, mengapa Kepala Daerah memiliki kepentingan besar menempatkan orang-orang mereka di tubuh KPU. Terutama jika kepala daerah ingin mencalonkan diri kembali dalam Pilkada selanjutnya. Atau mencalonkan keluarga untuk mengganti kedudukannya. Dalam proses seleksi calon anggota KPU oleh Tim seleksi (Timsel) sudah ada peran serta kepala daerah di dalamnya. Apakah memberi rekomendasi siapa saja yang menjadi anggota TimSel bahkan merekomendasi siapa saja anggota KPU yang bisa masuk ke 10 besar. Kalau mau dibilang sistematis, ya seperti ini. Sudah dipersiapkan sejak awal. Bahkan Pilkada yang baru akan berlangsung 3 tahun lagi, misalnya. Dan ini luput dari perhatian calon Kepala Daerah lain. Jika kemudian ada gugatan ke MK, bisakah pihak pemohon membuktikan keterkaitan ini. Susah.
Ada pihak yang lebih memegang peranan kunci lebih strategis lagi, yaitu Sekretaris KPU. Seperti halnya Sekda, Sekretaris KPU inilah yang memimpin jajaran birokrasi atau staff KPU yang menangani hal-hal teknis. Bahkan Sekretaris KPU merangkap juga sebagai Pejabat Penanggungjawab Anggaran. Sekretaris KPU adalah PNS yang ditempatkan oleh Kepala Daerah. Jika anggota KPU memiliki kewenangan pengambil kebijakan, maka Sekretaris KPU menjadi komandan untuk urusan teknis. Andai seorang Kepala Daerah sudah menempatkan dua orang sebagai anggota KPU dan satu orang sebagai Sekretaris KPU, sudah cukup untuk mengendalikan jalannya KPU. Sekreatris KPU lah yang mengerjakan hal teknis seperti: pencetakan surat suara sampai penghitungan hasil pemungutan suara secara manual.
Undian Nomor Urut Calon
Untuk hal yang dianggap remeh seperti ini, kadang juga bagian dari permainan pihak KPU. Hampir semua calon Kepala Daerah menginginkan mendapat nomor satu atau nomor favorit yang diinginkan. Semua itu bisa diatur. Modusnya bermacam-macam. Diantaranya, nomor diinginkan diberi perekat di dasar kotak. Calon yang sudah “deal” dengan KPU, akan dipanggil lebih awal, dan diberi tahu sebelumnya gulungan nomor di kotak tertutup ambil yang agak keras karena direkatkan. Ada juga modus, nomor sudah ditaruh di bawah bangku masing-masing calon yang hadir. Dan Pihak yang sudah deal, akan diberi tahu kursi yang mana harus dia duduk. Dan masih banyak lagi modusnya. Apakah ini bisa dibuktikan?. Susah.
Konsolidasi PPK hingga KPPS
Upaya sistematis kembali dilakukan. PPK (petugas tingkat Kecamatan) dipilih oleh KPU. Jika sudah ada rencana dan penempatan orang, maka orang-orang KPK pun diseleksi menurut kepentingan. Bahkan sudah ada perjanjian awal, bahwa yang bersangkutan bisa dipilih menjadi anggota PPK, jika merekrut petugas PPS (desa) dan KPPS (TPS) sesuai kepentingan. Apakah Kepala Daerah terlibat dalam proses ini. Tentu tidak. Dia sudah cukup memberi perintah kepada KPU dan selanjutnya anggota KPU akan memerintahkan jajaran di bawahnya hingga KPPS. Apakah upaya sistematis ini bisa dibuktikan?. Susah.
Kehadiran Kepala Daerah paling dalam acara ceremoni atau pembukaan acara seperti Pantarlih atau Diklat semua jajaran PPK hingga KPPS. Biasanya dengan modus, memberi tambahan honorarium yang diambil dari APBD. Naik Rp. 100.000, saja, petugas senangnya minta ampun. Bentuk dari Kampanye terselubung.
Panwaslu/ BawasluCaranya mirip dengan seleksi anggota KPU. Keikutsertaan Kepala Daerah di dalamnya saat memberi rekomendasi. Cara kerjanya sedehana saja. Mengawasi terus menerus pergerakan lawan dan timnya, hingga sampai membubarkan pertemuan yang dilakukan calon Kepala Daerah lain. Sebaliknya, jika ada laporan dari pihak lawan, Panwas bisa saja mengatakan tidak bisa diproses ke pelanggaran hukum karena tidak cukup bukti. Jika anggota Panwas dijadikan saksi di persidangan MK, dia bisa mengatakan bahwa incumbent tidak melakukan pelanggaran hukum karena saksi dan bukti tidak cukup.
Mobilisasi PNS
Bukan rahasia lagi, jika pihak incumbent dapat memobilisasi PNS. Biasanya disertai ancaman dan penghargaan. Jika yang ketahuan tidak mendukung, siap-siap saja untuk dimutasi ke wilayah kering. Sebaliknya, pihak yang dianggap berjasa akan diberikan promosi. Makanya, banyak kalangan PNS (terutama Kepala Dinas) yang berebut mencari muka di depan Kepala Daerah. Berharap bisa diangkat jadi Sekda atau pindah ke Dinas yang lebih basah untuk periode selanjutnya. Jangan dikira, kampanye untuk pihak incumbent menggunakan dana sendiri. Bahkan banyak Kepala Dinas yang mencari dana, entah dari anggaran Dinas atau meminta dari para cukung (pemborong). Situasi ini juga yang dijadikan kesempatan para Kepala Dinas, merampok para kontraktor dengan alasan, “bapak mau maju”. Pemborongpun tidak bisa berbuat banyak karena takut tender akan datang, dia tidak dapat proyek lagi.
Modus mobilisasi PNS pun beragam. Dinas pendidikan dapat melakukan pertemuan para guru dan wali murid. Kadang kepala sekolah dibawah ancaman. Dinas pertanian, menggunakan program pembagian pupuk gratis, hand traktor yang dilakukan oleh PPL. Dinas PU/ Kimpraswil, menjelang Pilkada sibuk membuat jalan hotmix di wilayah yang potensial menang. Dharma wanita yang dipimpin oleh ibu Bupati/ Walikota, melakukan karya bakti dan pembagian susu gratis di setiap Posyandu. Pemerintahan Desa, dapat memberi instruksi kepada semua Kades dengan iming-iming ada penambahan Anggaran Dana Desa (ADD). Babinsa yang menjaga setiap TPS, dapat dikonsolidasikan. Semua aparatur dapat dimobilisasi. Tanpa harus secara terang-terangan bilang pilih incumbent. Hal-hal seperti ini, sulit untuk dibuktikan.
Kecurangan Lainnya
Jika semua aparatur dan penyelenggara sudah bisa terkuasai, tidaklah sulit untuk memenangkan Pilkada. Baik itu atas intruksi langsung maupun kreasi dari masing-masing aparatus. Meskipun incumbent memiliki tim sukses dan tim partai, tetapi aparatur dan penyelenggara inilah yang menjadi motor utamanya. Bekerja secara terstruktur, rapi dan tersembunyi. Menjelang pemungutan suara, pihak penyelenggara bisa saja tidak membagi undangan bahkan kartu pemilih kepada wilayah yang dianggap sebagai basis musuh; mencetak kertas suara melebihi yang sudah ditentukan, dan dipersiapkan kotak suara yang sudah berisi; merekayasa pemilih fiktif dan membuat TPS fiktif di desa-desa terpencil; Mengubah dokumen C1 hasil penghitungan suara. Dan lain sebagainya.
Sebenarnya masih banyak lagi, tetapi nanti tulisan ini kepanjangan dan buat bosen membacanya. Untuk menambah perbendaharaan bentuk-bentuk kecurangan Pilkada, anda dapat membaca Risalah sidang perkara PHPU di MK dari sejumlah Pilkada yang pernah berlangsung. Saya sendiri baru sempat membaca sekitar 200 risalah sidang. Yang dari itu semua, bahwa kecurangan itu ada tapi sulit dibuktikan.
Sumber: Hendra Budiman
http://hukum.kompasiana.com/2013/05/02/kode-curang-pilkada-556779.html