JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam sepekan terakhir, karakter kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama yang tegas, ceplas-ceplos, dan tanpa rasa takut terlihat menonjol. Dengan cara seperti itulah Basuki menghadapi kritik hingga serangan bertubi-tubi dihadapinya.
Gaya seperti itu tidak sekali-dua kali ditunjukkan oleh Basuki. Gaya itu sudah menjadi karakternya. Ia akan tetap mempertahankannya meski gaya itu tak biasa dilakukan oleh pejabat pemerintah di Indonesia. Dalam wawancara eksklusif dengan kontributor Kompas.com, Ericssen, Rabu (31/7/2013), di ruang kerjanya, pria yang kerap disapa Ahok itu berbicara tentang filosofi kepemimpinan yang ia jalankan. Berikut petikan wawancara tersebut.
Tanya (T): Pak Wagub terkenal dengan pembawaan yang keras, apakah memang sudah menjadi karakternya? Atau apakah ini sebagai suatu metode khusus untuk memimpin DKI?
Basuki (B): Saya tidak punya metode khusus. Pada dasarnya, saya mulut dan hati sama, saya terbuka-buka saja. Ada persepsi publik bahwa pejabat di Indonesia ini harus pelan, beradab, dan santun.
Kompas.com/ ERICSSEN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama menjawab pertanyaan wawancara di ruang kerjanya, pagi ini
Tentu, saya tidak mempermasalahkan itu. Namun, bagi saya, kesantunan itu dinilai dari apakah kita ada menilap uang rakyat atau tidak. Untuk apa kita santun tapi korupsi, itu sama saja membunuh rakyat pelan-pelan.
Jangan lupa, sistem pemilu kita saat ini adalah one man, one vote. Terkadang sistem ini membuat pejabat cenderung khawatir tidak populer, takut tidak terpilih. Akibatnya, mereka lebih mementingkan pencitraan. Mungkin mereka dongkol, tapi hanya menahannya di dalam hati, khawatir rakyat menilai mereka terlalu meledak-ledak.
Saya hanya mengatakan kenyataan atau realita yang di lapangan. Sepanjang saya tidak mengatakan fitnah, saya tidak pernah takut. Saya taat kepada sumpah jabatan yang saya ucapkan. Saya taat kepada konstitusi.
Mungkin ada yang berpikir, saya kan sudah menjadi Wagub, posisi enak, fasilitas nyaman, ngapain sibuk-sibuk menegakkan keadilan dan kebenaran, duduk tenang saja. Bagi saya, mental inilah yang harus dibuang.
Saya sudah diberi amanat oleh rakyat dan akan berusaha semampu saya untuk memenuhinya. Saya melayani rakyat, bukan berkonsentrasi untuk kembali terpilih atau tidak.
T: Orang-orang menyebut Bapak sebagai Firaun, sosok yang arogan, begini, begitu. Bukankah itu menimbulkan kesan sebagai seorang pemimpin yang otoriter?
B: Pertama, kita harus mendefinisikan pengertian otoriter itu apa. Otoriter adalah jika kita membuat peraturan dengan sewenang-wenang dan berusaha memaksakannya kepada rakyat.
Saya selaku Wagub tidak dapat membuat peraturan apa pun, semuanya dibuat oleh DPRD. Saya hanya menjalankan peraturan yang ada. Mau bagaimana menyebut saya otoriter? Ha-ha-ha...
T: Saya secara pribadi melihat Pak Ahok sebagai Lee Kuan Yew-nya Indonesia. Lee Kuan Yew (mantan Perdana Menteri Singapura) terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang keras dan otoriter, bagaimana Bapak memandang pernyataan ini?
B: Tentu saja Lee Kuan Yew bisa dikatakan merupakan sosok yang sangat sukses membangun Singapura. Harus kita ingat, puluhan tahun lalu, Singapura juga penuh dengan banyak masalah dan rakyat yang sulit diatur. Namun, dengan law enforcement yang kuat, Singapura berhasil menjadi contoh sukses sekarang.
Penegakan hukum merupakan kunci utama dan semua memerlukan proses. Ambil contoh, ketika itu, ada kasus seorang dokter spesialis di Singapura yang mencuri tanaman antik. Singapura saat itu sedang sangat kekurangan dokter spesialis, Lee dihadapkan pada dilema, memenjarakannya atau memberi dispensasi. Akhirnya, dokter itu dipenjarakan walau mereka sangat memerlukannya.
Prinsipnya adalah, sekali kita melanggar, kita akan terus melanggarnya. Hukum, apa pun ceritanya, harus ditegakkan!
Namun, hal yang membedakan dengan Indonesia, Singapura merupakan partai tunggal dan hanya Lee-lah yang ketika itu punya otoritas membuat peraturan. Indonesia adalah demokrasi, kita tidak mungkin asal main tembak.
Hal yang perlu kita tiru adalah law enforcement mereka yang kuat, seperti penerapan denda. Saya bahkan menilai Lee tidak otoriter dalam konteks tertentu karena dia menerapkan peraturan itu untuk kemajuan negara.
T: Masalah hak asasi manusia (HAM) yang sering diperdebatkan itu, misalnya dalam kasus PKL, bagaimana, Pak?
B: Yang perlu ditekankan di sini adalah bedanya HAM dengan law enforcement. Kami di sini menegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Tetapi, ya, kami pihak Pemprov pun tidak ingin menelantarkan mereka begitu saja. Bahkan, bisa dikatakan kami peduli dengan nasib mereka karena kami menyediakan lapak atau tempat berdagang baru bagi mereka.
Penggunaan Satpol PP tetap merupakan bagian dari upaya kami untuk melakukan penertiban. Namun, pertanyaan yang muncul, seberapa banyakkah Satpol PP yang ingin diturunkan? Tujuh ribu? Tujuh ratus ribu? Bahkan 7 juta pun enggak cukup. Enggak mungkin kan warga DKI ingin Pemprov menggaji hingga 7 juta Satpol PP.
Itu sebabnya, kuncinya sederhana saja. Sekali lagi, law enforcement atau penegakan hukum itu harus benar-benar ditegakkan.
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/01/0736568/
Basuki (B): Saya tidak punya metode khusus. Pada dasarnya, saya mulut dan hati sama, saya terbuka-buka saja. Ada persepsi publik bahwa pejabat di Indonesia ini harus pelan, beradab, dan santun.
Kompas.com/ ERICSSEN Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama menjawab pertanyaan wawancara di ruang kerjanya, pagi ini
Tentu, saya tidak mempermasalahkan itu. Namun, bagi saya, kesantunan itu dinilai dari apakah kita ada menilap uang rakyat atau tidak. Untuk apa kita santun tapi korupsi, itu sama saja membunuh rakyat pelan-pelan.
Jangan lupa, sistem pemilu kita saat ini adalah one man, one vote. Terkadang sistem ini membuat pejabat cenderung khawatir tidak populer, takut tidak terpilih. Akibatnya, mereka lebih mementingkan pencitraan. Mungkin mereka dongkol, tapi hanya menahannya di dalam hati, khawatir rakyat menilai mereka terlalu meledak-ledak.
Saya hanya mengatakan kenyataan atau realita yang di lapangan. Sepanjang saya tidak mengatakan fitnah, saya tidak pernah takut. Saya taat kepada sumpah jabatan yang saya ucapkan. Saya taat kepada konstitusi.
Mungkin ada yang berpikir, saya kan sudah menjadi Wagub, posisi enak, fasilitas nyaman, ngapain sibuk-sibuk menegakkan keadilan dan kebenaran, duduk tenang saja. Bagi saya, mental inilah yang harus dibuang.
Saya sudah diberi amanat oleh rakyat dan akan berusaha semampu saya untuk memenuhinya. Saya melayani rakyat, bukan berkonsentrasi untuk kembali terpilih atau tidak.
T: Orang-orang menyebut Bapak sebagai Firaun, sosok yang arogan, begini, begitu. Bukankah itu menimbulkan kesan sebagai seorang pemimpin yang otoriter?
B: Pertama, kita harus mendefinisikan pengertian otoriter itu apa. Otoriter adalah jika kita membuat peraturan dengan sewenang-wenang dan berusaha memaksakannya kepada rakyat.
Saya selaku Wagub tidak dapat membuat peraturan apa pun, semuanya dibuat oleh DPRD. Saya hanya menjalankan peraturan yang ada. Mau bagaimana menyebut saya otoriter? Ha-ha-ha...
T: Saya secara pribadi melihat Pak Ahok sebagai Lee Kuan Yew-nya Indonesia. Lee Kuan Yew (mantan Perdana Menteri Singapura) terkenal dengan gaya kepemimpinannya yang keras dan otoriter, bagaimana Bapak memandang pernyataan ini?
B: Tentu saja Lee Kuan Yew bisa dikatakan merupakan sosok yang sangat sukses membangun Singapura. Harus kita ingat, puluhan tahun lalu, Singapura juga penuh dengan banyak masalah dan rakyat yang sulit diatur. Namun, dengan law enforcement yang kuat, Singapura berhasil menjadi contoh sukses sekarang.
Penegakan hukum merupakan kunci utama dan semua memerlukan proses. Ambil contoh, ketika itu, ada kasus seorang dokter spesialis di Singapura yang mencuri tanaman antik. Singapura saat itu sedang sangat kekurangan dokter spesialis, Lee dihadapkan pada dilema, memenjarakannya atau memberi dispensasi. Akhirnya, dokter itu dipenjarakan walau mereka sangat memerlukannya.
Prinsipnya adalah, sekali kita melanggar, kita akan terus melanggarnya. Hukum, apa pun ceritanya, harus ditegakkan!
Namun, hal yang membedakan dengan Indonesia, Singapura merupakan partai tunggal dan hanya Lee-lah yang ketika itu punya otoritas membuat peraturan. Indonesia adalah demokrasi, kita tidak mungkin asal main tembak.
Hal yang perlu kita tiru adalah law enforcement mereka yang kuat, seperti penerapan denda. Saya bahkan menilai Lee tidak otoriter dalam konteks tertentu karena dia menerapkan peraturan itu untuk kemajuan negara.
T: Masalah hak asasi manusia (HAM) yang sering diperdebatkan itu, misalnya dalam kasus PKL, bagaimana, Pak?
B: Yang perlu ditekankan di sini adalah bedanya HAM dengan law enforcement. Kami di sini menegakkan hukum sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Tetapi, ya, kami pihak Pemprov pun tidak ingin menelantarkan mereka begitu saja. Bahkan, bisa dikatakan kami peduli dengan nasib mereka karena kami menyediakan lapak atau tempat berdagang baru bagi mereka.
Penggunaan Satpol PP tetap merupakan bagian dari upaya kami untuk melakukan penertiban. Namun, pertanyaan yang muncul, seberapa banyakkah Satpol PP yang ingin diturunkan? Tujuh ribu? Tujuh ratus ribu? Bahkan 7 juta pun enggak cukup. Enggak mungkin kan warga DKI ingin Pemprov menggaji hingga 7 juta Satpol PP.
Itu sebabnya, kuncinya sederhana saja. Sekali lagi, law enforcement atau penegakan hukum itu harus benar-benar ditegakkan.
http://megapolitan.kompas.com/read/2013/08/01/0736568/