Sabtu, Oktober 04, 2008

Tiga Alam

Inti Kepercayaan Tradisional Tionghoa
Leluhur orang Tionghoa menganggap bahwa alam semesta ini terbagi atas 2 bagian yaitu langit dan bumi. Namun sampai pada munculnya Taoisme dan masuknya Buddhisme ke Tiongkok, bagian alam semesta tadi berkembang menjadi yang sekarang kita kenal yaitu 3 bagian yang terdiri dari alam Langit (Tian Jie), alam Bumi (Ming Jie) dan alam Baka (You Jie).
Konsep tiga alam adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya.
Alam Langit (Tian Jie) adalah menunjuk pada alam yang didiami dan menjadi tempat kegiatan para raja-raja Langit (Tian Wang) dan dewa-dewi langit (Tian Shen). Alam ini dianggap sebagai pusat pemerintahan alam semesta, yang mengatur seluruh kehidupan di alam bumi. Orang-orang besar yang berjasa di bidangnya masing-masing terhadap masyarakat Tionghoa di zamannya dapat naik menjadi dewa-dewi di alam Langit. Nenek moyang dalam mitologi seperti Nu Wa, Fu Xi dan Shen Nung serta kaisar-kaisar legendaris seperti Yao, Xun dan Yu bertempat tinggal di sana bersama dengan dewa-dewi pejabat pemerintahan langit lainnya.

Alam Bumi (Ming Jie) adalah menunjuk pada bumi tempat manusia berada, yang menjadi tempat tinggal dan tempat kegiatan dari seluruh makhluk hidup. Dewa-dewi dan pejabat di alam Langit bertanggung jawab melaksanakan tugas pemerintahan mereka di alam Bumi. Juga disebut sebagai Yang Jian ataupun Ren Jian.

Alam Baka (You Jie) adalah menunjuk pada alam di bawah bumi ataupun alam sesudah kematian, yaitu alam yang menjadi tempat domisili dan kegiatan dari roh (Ling) dan hantu (Gui) dari manusia setelah meninggal dunia. Di alam ini, ada sekelompok dewa dan pejabat alam yang khusus memerintah di alam ini. Dalam kepercayaan tradisional, leluhur orang Tionghoa mempercayai bahwa kehidupan setelah meninggal adalah lebih kurang sama dengan kehidupan manusia di dunia ini. Di alam ini, setiap orang akan menjalani pengadilan yang akan membawa kepada hadiah maupun hukuman dari dewa dan pejabat di alam ini. Alam Baka keseluruhan berjumlah 10 Istana Yan Luo (Shi Dian Yan Luo) dan 18 Tingkat Neraka (Shi Ba Ceng Di Yu).

Dalam perkembangannya, kepercayaan mengenai alam Baka ini kemudian terpengaruh oleh konsep reinkarnasi dari Buddhisme yang ditandai dengan kepercayaan bahwa roh yang hidup di alam Baka kemudian akan terlahir kembali ke dunia sebagai manusia setelah lupa akan kehidupan sebelumnya dengan meminum sup Meng Po dan melewati jembatan Nai He. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa kepercayaan tradisional ini menganggap manusia hanya akan terlahir kembali sebagai manusia dan tidak sebagai makhluk lainnya.

Hubungan dan Interaksi Antar Tiga Alam Alam Langit, alam Bumi dan alam Baka adalah mempunyai hubungan satu sama lain dan dapat berinteraksi di antaranya. Kepercayaan leluhur orang Tionghoa bahwa ada kehidupan setelah kematian, seseorang yang telah meninggal akan menjadi roh (Ling) ataupun hantu (Gui).

Roh ini terbagi atas roh yang baik dan jahat. Roh yang dihormati dan dikenang oleh keturunannya sehingga dapat menjaga, melindungi dan membawa berkah pada keluarga anak cucunya adalah roh leluhur yang baik. Sedangkan roh yang tidak mendapat penghormatan, perlakuan layak dan wajar oleh keturunannya ataupun yang meninggal secara tidak wajar biasanya merupakan roh yang jahat. Roh yang jahat inilah yang biasanya kita kenal dengan sebutan hantu.

Namun, tidak semuanya akan menjadi roh ataupun hantu. Ada tokoh-tokoh tertentu yang berjasa dan berkontribusi besar bagi masyarakat, kebudayaan dan negara akan naik derajatnya menjadi dewa-dewi yang patut dihormati masyarakat luas untuk mengenang dan menghormati jasa-jasa mereka. Banyak dari dewa-dewi leluhur orang Tionghoa yang sebenarnya merupakan tokoh sejarah yang benar-benar pernah hidup pada masanya dan bukan cuma legenda atau mitologi.

Masing-masing dewa-dewi tersebut mempunyai peranan dan kelebihan masing-masing seperti Guan Gong (nama asli Guan Yun-chang) yang hidup masa Dinasti Han akhir (Tiga Negara) dipuja sebagai Dewa Perang yang melambangkan kekuatan dan kesetiaan, lalu Ma Zhu Niang-niang (nama asli Lin Mo Niang) yang hidup di zaman Dinasti Sung yang dipuja sebagai Dewi Maritim yang melambangkan bakti seorang anak kepada orang tuanya.

Dari semua bentuk interaksi ini, yang paling nyata dan penting dalam kepercayaan tradisional ini adalah upacara merayakan ulang tahun dewa-dewi (Wei Shen Zuo Shou) dan membantu roh untuk terbebas dari penderitaan (Ti Gui Cao Sheng, dalam agama tertentu dapat disamakan dengan pelimpahan jasa). Kedua upacara ini biasanya diselenggarakan bersamaan pada hari-hari ulang tahun dari dewa-dewi tersebut.
Semua ini dilakukan demi penghormatan kepada dewa-dewi dan roh-roh yang dianggap dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia ini.

Bentuk-bentuk ritual kepercayaan ini sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Namun di dalam perbedaan tersebut, persamaannya masih tetap lebih menonjol karena dewa-dewi yang dipuja dan inti dari penghormatan tersebut adalah sama hakikatnya (dari berbagai sumber).
Indonesian-Chinese Culture Study Group Studying Indonesian-Chinese culture

Sesajian di Meja Abu Leluhur
Sebagai keturunan yang soleh dan berbakti kepada kedua orangtua maupu leluhurnya, tentu tidak akan melupakan kapan akan memberikan sesaji lengkap berupa daging, buah, penganan dan arak di meja abu baik menjelang Imlek maupun Ceng Beng dan hari-hari tertentu, ini merupakan kewajiban keluarga Tionghoa sebagai bakti kepada leluhur. Namun, tidak hanya sepiring nasi, berikut lauk pauknya serta air putih, teh, kopi maupun arak yang merupakan kegemaran orangtua/leluhur, hidangan tersebut bisa di meja abu/altar, makam maupun rumah abu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar