Minggu, Februari 20, 2011

Pusat Studi Tionghoa Melacak Sejarah

SURABAYA, KOMPAS.com — Pusat Studi Kajian Indonesia Tionghoa "Center for Chinese Indonesian Studies/CCIS" Universitas Kristen Petra (UKP) Surabaya menemukan sekitar 116 komunitas Tionghoa di Surabaya karena ingin menyusun sejarah yang hilang selama ini.
"Kebudayaan Tionghoa begitu beragam mulai dari kuliner, bahasa, tata busana, arsitektur, dan teknologi. Untuk itu, kami perlu menyusun missing link yang selama ini seolah hilang," kata Sekretaris Center for Chinese Indonesian Studies (CCIS) Elisa Christiana saat ditemui dalam seminar "Chinese Indonesians in Modern Indonesia" sekaligus pengenalan CCIS di kampus setempat, Jumat.

Menurut dia, selama ini, keberagaman kebudayaan Tionghoa semakin memperkaya kebudayaan Indonesia. Contohnya, budaya makan Lontong Cap Gomeh saat Tahun Baru Imlek.

"Budaya tersebut hanya diterapkan oleh masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia, apalagi idenya adalah merayakan Tahun Baru China dengan makanan khas Indonesia," ujarnya.

Untuk mempertahankan dan melestarikan budaya tersebut, ia mengajak, masyarakat Surabaya dan sekitarnya menginventaris apa pun yang selama ini menjadi identitas Tionghoa.

"Kami optimistis upaya ini dapat membuktikan bahwa Tionghoa bukanlah kaum minoritas melainkan bagian dari Indonesia," katanya.

Sementara itu, salah satu pembicara di seminar tersebut, Priyanto Wibowo, mengungkapkan, sebenarnya dalam setiap torehan sejarah bangsa Indonesia banyak jejak peran orang Tionghoa di dalamnya. Selain itu, keberadaan etnis ini di Indonesia sudah dimulai berabad lamanya.

"Mereka sudah menetap di Indonesia sebelum masa kemerdekaan," kata pria yang juga menjabat Ketua Departemen Sejarah Universitas Indonesia.

Kondisi tersebut, tambah dia, merupakan bentuk ungkapan etnis Tionghoa agar diakui sebagai bagian dari Indonesia tanpa pembedaan apa pun. Apalagi, pasca-era Reformasi (1998) adalah awal kebangkitan masyarakat Tionghoa di Indonesia.
"Situasi itu tampak berbeda ketika masyarakat Tionghoa hidup pada masa orde yang penuh tekanan," katanya.

Salah satunya, kata dia, pada masa Orde Baru, masyarakat Tionghoa dipaksa untuk melebur dengan warga pribumi dengan mengubah nama menjadi nama pribumi. Di sisi lain, adanya pembatasan gerak dalam dunia politik, pegawai negeri, dan pendidikan.
"Akibatnya masyarakat Tionghoa hanya bisa menempati posisi sebagai pedagang," katanya.

Di lain pihak, lanjut dia, kalau dianalisis komunitas Tionghoa di Indonesia berbeda dari komunitas Tionghoa di belahan dunia mana pun. Apalagi, selama ini sudah mengakar dengan Indonesia sehingga banyak budaya yang muncul saat ini bercampur dengan budaya Indonesia.

http://oase.kompas.com/read/2011/02/20/00284016/